Mekanisme pembetulan SPT merupakan hak Wajib Pajak yang telah diatur dalam UU KUP. Namun demikian, peraturan yang membahas hal tersebut, khususnya pada pasal 8 UU KUP terdapat beberapa pernyataan yang isinya hampir mirip namun sebenarnya berbeda makna. Hal tersebut terdapat dalam pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU KUP. Berikut kutipannya :
Pasal 8 ayat (3) UU KUP
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 8 ayat (4) UU KUP
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, dst…
Pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. (Pasal 8 ayat (5) UU KUP).
Dari kedua kutipan ayat tersebut, apabila dicermati, terdapat kemiripan dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan melakukan pengungkapan ketidakbenaran (mirip pembetulan SPT, tetapi sebenarnya berbeda), walaupun DJP telah melakukan pemeriksaan. Sementara hal yang membedakan adalah :
Ayat (3) : dilakukan pada saat sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Kemudian setelah dilakukan pengungkapan ketidakbenaran, maka pemeriksaan bukti permulaan dilanjutkan untuk membuktikan kebenaran. Jika benar, maka pemeriksa bukti permulaan menerima. Dan kepada Wajib Pajak harus diberitahu tidak akan dilanjutkan ke proses penyidikan. Keharusan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis di atur di Pasal 6 ayat (7) huruf b Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011. Tetapi jika pengungkapan tersebut menurut pemeriksa tidak benar, maka proses pemeriksaan bukti permulaan dilanjutkan dan ditingkatkan di proses penyidikan. Ini diatur di Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.
Intinya, pasal 8 ayat (3) UU KUP dipakai untuk menghentikan proses pemeriksaan bukti permulaan dan supaya tidak ditingkatkan di proses penyidikan. Sedangkan untuk menghentikan penyidikan dan supaya tidak dilanjutkan ke proses penuntutan diatur dalam pasal 44B UU KUP.